Asal Usul Pers di Indonesia
Oleh : Solfi Indah
|
Hai Someg! Kali ini kita akan membahas mengenai Pers. Hari Pers Nasional jatuh pada tanggal 9 Februari, sekaligus bertepatan dengan Hari Ulang Tahun Persatuan Wartawan Indonesia. Apa Someg udah tau "Apa itu pers?" Pers adalah segala usaha dari alat-alat komunikasi massa untuk memenuhi kebutuhan anggota masyarakat akan hiburan, keinginan, peristiwa, dan berita yang terjadi dalam wujud surat kabar, majalah, buletin, media cetak lain atau bisa juga disebarluaskan melalui radio, televisi, film, dan sebagainya.
Nah, sekarang Someg
udah tau kan pers itu apa? Selanjutnya kita akan bahas mengenai sejarah atau
asal usul pers di Indonesia.
Sejarah Pers
Pada Masa Kolonial dan Orde Lama
Penjajahan yang dilakukan oleh
Belanda dan Jepang berperan penting dalam pembentukan pers di negeri ini.
Belanda mempelopori hadirnya dunia
pers di Indonesia. Tak hanya itu,
Jepang dalam kurun waktu
sekitar 3,5 tahun juga
memberikan warna pada pers di Indonesia.
Maka pada fase penjajahan,
pers bisa digolongkan menjadi dua fase,
yakni fase pada masa Hindia Belanda dan fase pada masa Pemerintahan Jepang.
Pers pada Masa Penjajahan
Belanda
Pada tahun 1828 di Jakarta
diterbitkan Javasche Courant yang memuat berita-berita resmi pemerintahan,
berita lelang dan berita kutipan dari harian-harian di Eropa. Sedangkan di
Surabaya terbit koran Soerabajash Advertentiebland pada
tahun 1835 yang kemudian namanya diganti menjadi Soerabajash Niews en
Advertentiebland, dan masih banyak lagi. Surat-surat kabar yang terbit pada
masa sekarang tidak mempunyai arti secara politis, karena lebih merupakan surat
kabar periklanan. Semua penerbit terkena peraturan, yakni tidak boleh diedarkan
sebelum diperiksa oleh penguasa setempat.
Pada tahun 1885 di seluruh
daerah yang dikuasai Belanda terdapat 16 surat kabar berbahasa Belanda, dan 12
surat kabar berbahasa melayu diantaranya adalah Bintang Barat,
Hindia-Nederland, Dinihari, Bintang Djohar, Selompret Melayu dan Tjahaja Moelia, Pemberitaan Bahroe (Surabaya) dan Surat kabar
berbahasa Jawa Bromartani yang terbit di Solo. Meski terbit surat kabar di masa kolonial Belanda kala itu tidak
mempunyai arti secara politik, akan tetapi aturan tentang penerbitan oleh
Pemerintah Hindia Belanda sangat ketat.
Peraturan Pertama mengenai
pers dikeluarkan pada tahun 1856. Aturan ini bersifat pengawasan preventif
yang menyebutkan bahwa isi semua karya cetak sebelum diterbitkan dikirim
terlebih dahulu kepada pemerintahan setempat, pejabat justisi dan Algemene
Secretarie oleh pencetak atau penerbitnya untuk ditanda tangani terlebih dahulu.
Pada tahun 1906 Pemerintah
Hindia Belanda mengubah aturan tentang ketentuan pers ini sebagaimana tertuang
dalam KB 19 Maret 106 Ind.Stb.No.270. Aturan ini bersifat pengawasan represif,
yakni pencetak atau penerbit diharuskan menyerahkan koran yang telah dicetak
kepada pejabat setempat, maksimal 24 jam setelah terbit atau diedarkan.
Keberadaan pers di masa Pemerintahan Kolonial Belanda nampaknya
mengalami perkembangan, sehingga koran yang terbit kala itu, berkembang dari
sebelumnya hanya berisi iklan lelang dan hiburan, menjadi media publik yang
berisi berita tentang kebijakan pemerintahan. Perkembangan ini, membuat
pemerintah mengeluarkan ketentuan baru, pada 7 September 1931 yang
disebut “Persbreidel Ordonnantie”. Ketentuan ini, menegaskan adanya
larangan penerbitan bagi pers yang dinilai bisa mengganggu ketertiban umum dan
melanggar kekuasaan pemerintahan Belanda kala itu .
Pers Pada Masa Pendudukan Jepang
Ketika Jepang datang ke Indonesia, surat kabar-surat kabar yang ada
di Indonesia diambil alih perlahan. Beberapa sengaja disatukan dengan dalih
menghemat alat dan tenaga. Padahal, tujuan sebenarnya adalah agar pemerintah
Jepang dapat memperketat pengawasan terhadap isi surat kabar. Kantor Berita
Antara diambil alih dan diubah menjadi kantor berita Yashima yang berpusat di
Domei, Jepang.
Konten surat kabar
dimanfaatkan sebagai alat propaganda untuk memuji-muji pemerintahan Jepang kala
itu. Wartawan Indonesia saat itu bekerja sebagai pegawai biasa,
sedangkan yang berkedudukan tinggi
hanyalah orang-orang Jepang itu sendiri.
Satu
surat kabar yang terbit pada masa ini adalah Tjahaja (Cahaya). Surat
kabar ini sudah menggunakan Bahasa Indonesia dan penerbit berada di kota
Bandung. Surat kabar ini terbit di Indonesia namun berisikan berita tentang
segala kondisi yang terjadi di Jepang. Para pemimpinnya di antaranya adalah Oto
Iskandar Dinata, R.Bratanata, dan Mohamad Kurdi.
Saat menguasai Indonesia, Jepang menetapkan ketentuan yang bersifat
sensor preventif yakni dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 16
tentang Sarana Publikasi dan Komunikasi. Salah satu ketentuannya menegaskan
bahwa semua jenis barang cetakan harus mengantongi izin publikasi atau izin
terbit melalui pemeriksaan sensor bala tentara
Jepang terlebih
dahulu.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kondisi pers pada masa kependudukan
Jepang lebih ketat dibanding masa kependudukan
Belanda. Sebab, kontrol yang dilakukan kala itu, bukan hanya pada pengawasan preventif
dan represif saja, akan tetapi Jepang juga melakukan intervensi bagi
semua pers yang ada kala itu.
Pers di Awal Kemerdekaan
Ketika Indonesia sudah resmi merdeka, surat kabar yang terbit
pertama adalah Koran Berita
Indonesia (6 September) koran ini terbit secara teratur ,
kemudian majalah Tentera, dan disusul Surat Kabar Merdeka yang dipimpin oleh BM
Diah. Pemerintah Indonesia juga tak mau ketinggalan menerbitkan Negara Baroe
yang dipimpin Parada Harahap, yang kemudian juga menerbitkan Soeara Oemoem
tetapi hanya bertahan sebentar.
Di daerah selain Jakarta juga terbit koran diantaranya : Menara
Merdeka (Ternate), Soeara Indonesia, Pedoman (Makasar) , Soeara Merdeka
(Bandung) , Soeara Rakjat (Surabaya) , Kedaulatan Rakyat , Nasional
(Yogyakarta). Soeloeh Rakyat ( Semarang) , Pewarta Deli , Suluh Merdeka, Mimbar
Umum (Sumatera Utara), Sumatera Baru (Palembang) , Pedoman Kita , Demokrasi ,
Oetosan Soematera (Padang), Semangat Merdeka (Aceh).
Selain itu Kantor Berita Antara juga telah ikut berperan mendukung
perjuangan kemerdekaan Indonesia. Perjuangan para wartawan untuk ikut
menegakkan kemerdekaan Indonesia pada waktu terlihat sangat nyata. Dalam
tekanan pemerintah Jepang yang tidak mau melepaskan Indonesia merdeka dan
Belanda bersama Sekutu yang berniat kembali menancapkan kekuasaannya, maka pers
Indonesia pada waktu itu berdiri dibelakang kaum republicein menyokong terus
menyuarakan kemerdekaan Indonesia sehingga orang menyebut pers republiken.
Untuk menandingi tulisan-tulisan yang termuat pada koran republiken, Belanda
membuat koran tandingan diantaranya De Courant (Bandung), De
Locomotief (Semarang) , Java Bode (Jakarta).
Ketika ibukota Republik Indonesia berpindah ke
Yogyakarta, pada tanggal 9 Februari 1946 para wartawan berkumpul di gedung
Sociteit atau Sasono Suko Solo (sekarang Monumen Pers Nasional) mendirikan
organisasi profesi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Ini merupakan organisasi
profesi wartawan pertama setelah diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia
dengan Ketua Mr. R.M Sumanang Suryowinoto. Dan empat bulan kemudian tepatnya 8
Juni 1946 berdiri Serikat Perusahaan Surat Kabar (SPS) di Yogyakarta. Hal ini
makin memperkokoh peran pers di awal berdirinya negara Indonesia.
Indonesia meraih kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, melalui
proklamasi kemerdekaan oleh Ir.
Soekarno dan Mohammad Hatta atas nama Bangsa Indonesia. Secara otomatis
pemegangan kebijakan negara bukan lagi pada penjajah. Perubahan pemimpin dan
tata pemerintah ini, tak lantas membawa perubahan pada sistem pers saat masa
kolonial. Hanya saja, pijakan
undang-undang dasar memang telah membuka ruang akan adanya kebebasan dalam
menyampaikan pendapat dan aspirasi sebagaimana
tertuang dalam Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia kala itu yang
menyebutkan bahwa, “Setiap
orang berhak atas kebebasan mempunyai dan menyampaikan pendapat”.
Pemerintah Indonesia, baru mencabut ketentuan tentang pers yang
membatasi gerak pers dalam menyampaikan informasi kepada publik sebagaimana
diatur pada masa kolonial Belanda tentang pengawasan represif dan adanya
sensor preventif melalui Undang-Undang Nomor 16 tentang Sarana Publikasi
dan Komunikasi sembilan tahun kemudian, yakni pada 2 Agustus 1954 melalui
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1954, Lembaran Negara 54-77. Penghapusan presbredel
ordonantie ini berkat perjuangan yang dilakukan oleh Persatuan Wartawan
Indonesia (PWI) pada kongres ke-7 di Denpasar, Bali 1953. Kala itu Kongres PWI
merekomendasikan agar pemerintah segera mengeluarkan Undang-Undang Pers yang
bersumber pada hak kemerdekaan berpikir dan mengeluarkan pendapat, sesuai
dengan Undang-Undang Sementara Republik Indonesia kala itu.
Upaya PWI untuk memperjuangkan kebebasan pers dari tekanan penguasa
terbilang sukses, karena setahun kemudian, pemerintah terbukti mencabut
ketentuan yang dibuat oleh pemerintah kolonial Belanda tersebut. Hanya saja,
meski PWI sukses menekan pemerintah menghapus ketentuan yang dinilai membatas
kebebasan pers tersebut, melalui Kepala Staf Angkatan Darat selaku Penguasa
Militer pada 14 September 1956 mengeluarkan peraturan yang juga mengekang
kebebasan berekspresi awak media, yakni Peraturan No. PKM/001/0/1956. Isinya
tidak jauh berbeda dengan aturan yang ditetapkan pemerintah kolonial Belanda
tentang “Haatzaai Artikelen” dan karena aturan ini diprotes juga oleh
PWI, maka 28 November 1957 dicabut oleh KASAD Mayor Jenderal A.H Nasution .
Lalu Pemerintah Orde Lama
menyusun ketentuan dan regulasi tentang pers 15 tahun setelah proklamasi
lemerdekaan, yakni pada tahun 1960 dengan dikeluarkannya ketentuan tentang
Perizinan Surat Kabar/ Majalah dalam Peraturan PEPERTI No 10 Tahun 1960 tentang
Surat Izin Penerbitan Surat Kabar dan Majalah. Tiga tahun kemudian pemerintah
mengeluarkan Penetapan Presiden (Penpres) Nomor 6 Tahun 1963, dan ketentuan ini
berlaku hingga 1966 ketika diundangkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1966
tentang Pokok-Pokok Pers yang mencabut Penpres Nomor 6 Tahun 1963.
Undang-Undang menjelaskan,
bahwa pers tidak hanya sebagai media komunikasi massa, akan tetapi juga sebagai
alat revolusi untuk menopang rencana pemerintah dalam tata kelola
pemerintahan yang kala itu, menginginkan adanya revolusi ideologi dari asas
Pancasila menjadi Nasakom (Nasionalis, Agama dan Komunis).
Maka dari itu, diharapkan, melalui peringatan HPN, insan pers dan
masyarakat sudah seharusnya senantiasa berbenah dalam mewujudkan cita-cita
Indonesia.
Nah gimana menurut Someg? Semoga
artikel ini dapat membantu sekaligus menambah wawasan Someg
nantinya. Sekian
dari Crewmeg, terimakasih :)