Sentimeter Khianat
Oleh : Indana Nurul Khoiriza
Hiks... Hiks... Hiks...
Di sisi kanan pohon beringin besar, seorang gadis dengan
seragam putih abu-abunya tengah menangis dan meringkuk memukul-mukul kakinya
sambil terus merancau menyalahkan dirinya sendiri. “Rhein... Kenapa Rhein tega
sama Ara? Ara punya salah apa sama Rhein?” Ucapnya berkali-kali.
Ara melampiaskan semua kesedihannya di bawah pohon
beringin sore hari di bulan Desember, bulan petaka bagi Ara.
Delapan tahun yang lalu, Ara menyapanya, mengenalnya, dan
menganggapnya sebagai sahabat. Tapi semua itu berbanding terbalik dengan
keadaannya saat ini, dimana ia telah menghancurkan hidup Ara. Ara menyesal
telah mengenalnya.
“Kenapa kamu sedih?” tanya Ara kepada gadis kecil itu.
Ara yang masih sepuluh tahun tak mengerti harus melakukan apa. Ara akhirnya
memeluk gadis itu erat seakan mengisyaratkan bahwa gadis itu tak sendiri. “Ara
akan selalu ada buat kamu, kamu jangan sedih.” Ucap Ara tenang.
Gadis kecil yang kira-kira berumur dua tahun dibawah Ara
itu langsung membalas pelukan Ara tak kalah erat. “Aku takut... Aku
sendirian... Hiks...Hiks...Hiks...” Ucapnya sambil terus menangis. “Ara kan
sudah bilang, jangan sedih. Ara selalu ada buat kamu. Oh ya... Nama kamu
siapa?” tanya Ara melepaskan pelukannya. “Rheina... Rheina Atmajaya.” Ujar
gadis itu dengan mata yang berkilau. “Mulai sekarang Rheina adalah sahabat Ara,
apa yang Ara punya itu milik Rheina juga.” Ujar Ara sambil menyatukan
kelingkingnya dengan Rheina.
Rheina Atmajaya, panggil saja Rhein. Ia adalah sahabat
Ara. Ara sudah menganggapnya sebagai adiknya sendiri meski mereka berbeda ayah
ibu. Ara merasa kasihan kepada kehidupan Rhein. Rhein adalah seorang anak yatim
piatu yang ia jumpai saat pulang sekolah. Panti asuhannya mengadakan study tour
ke wisata setempat. Tapi kejadian naas tak bisa terelakkan, bus yang mereka
tumpangi masuk ke dalam jurang. Sewaktu berada di pengisian bensin sebelum
kejadian tersebut, Rhein lupa tak izin ke ibu panti untuk buang air kecil dan
teman sebangkunya malah tertidur pulas. Dan Rhein pun selamat dari kecelakaan
tersebut. Itulah hal yang disampaikan Rhein ketika bertemu dengan Ara.
Setiap hari mereka selalu bersama. Apabila ada Ara
disampingnya selalu ada Rhein dan begitupun sebaliknya. Rhein sudah dianggap
anak kandung sendiri oleh kedua orang tua Ara. Hingga, saat Ara memasuki
Sekolah Menengah Atas yang berada di kotanya. Ara merasa aneh dengan Rhein. Ia
sering melihat Rhein tertawa sendiri di kamarnya. Ara hanya mengira, Rhein
sedang bercanda dengan temannya.
Satu tahun setelahnya, Ara semakin sibuk dengan tugasnya sebagai
sekertaris Osis di sekolahnya. Tak terlepas dari itu, Ara tengah menyukai
Gilang sang ketua jurnalistik yang sering menemuinya karena meminta jadwal
acara untuk persiapan liputannya. Ara menyukai Gilang saat masa orientasi
siswa, dimana keduanya dihukum bersama karena terlambat di hari pertama. Klise
memang, tapi sejak hari itu Ara tak bisa berhenti memikirkannya.
Seketika, lamunan Ara terhanti karena tawa Rhein yang
menggema ke seluruh ruangan. Ara mengintip dari pintu kamarnya, terlihat Rhein
yang begitu akrab dengan ayahnya. Senyum Ara mengembang dan dengan perlahan Ara
menutup pintu kamarnya. Ara pun melanjutkan proposal yang akan diserahkannya
kepada kepala sekolah esok hari.
Dari hari ke hari, Ara mulai merasa bingung dengan sikap ibunya
yang berbeda. Ibu Ara adalah orang yang ceria, tapi beberapa minggu ini beliau
terlihat berbeda. Dengan kantung mata menghitam, mata yang terlihat memerah,
dan bibir yang pucat seperti orang yang sedang sakit. Dari lubuk hatinya, Ara
ingin bertanya kepada ibunya. Tapi Ara menganggap ibunya capek dalam
melaksanakan pekerjaan rumah tangga.
Dalam beberapa bulan ini, sang ayah juga sering keluar
bersama Rhein. Ara tersenyum, akhirnya Rhein bisa sedekat ini dengan ayahnya.
Hingga sebuah bunyi pecahan kaca terdengar di indra pendengar Ara.
Pyarrr...
Ara pun berlari menuju ke sumber suara. Hingga kakinya
mematung tak bisa digerakan sesentipun. Ia melihat ibunya berlumuran darah tak
sadarkan diri dengan beberapa sayatan pada urat nadinya. Ara meneteskan air
matanya sambil mencoba memegang nadi sang ibu. Hingga ia menyadari tak ada
detakan sedikitpun. “Apa yang tengah terjadi? Ibu... Ara takut.” Ucap Ara
sambil memeluk jasad ibunya.
Ayahnya dan Rhein selama tiga hari masih belum juga
pulang. Ara semakin khawatir. Ia takut terjadi apa-apa dengan ayah dan adiknya
itu.
Hari keempat, ketika pulang sekolah ia melihat Rhein
berjalan tak jauh darinya. Arapun mengejarnya dan menarik tangan Rhein. “Rhein
kemana saja kamu? Ayah mana?”tanya Ara kepada Rhein. Rheina menyunggingkan
senyumnya dan berkata, “Maksud kamu papa?”
“Papa? Sejak kapan kamu memanggil ayah dengan sebutan
papa?” tanya Ara sambil menautkan alisnya. Jawaban tak terduga keluar dari
bibir Rhein, “Semenjak ayah kamu menikah dengan mamaku.”
Mata Ara membulat sontak ia mencengkram tangan Rhein
dengan begitu erat. “Mama? Sejak kapan?” tanya Ara. “Iya, Hazra Aizha. Kau
mudah sekali dibohongi. Ibumu juga sangat mudah percaya denganku. Mana ada
orang yang sangat mudah percaya dengan bocah kecil yang disuruh ibunya untuk
menghancurkan kehidupan musuh ibunya? Kau begitu bodoh Ara.” Ujar Rhein dengan
nada sombongnya.
Akhirnya Ara mengerti semua hal yang terjadi padanya dan
ibunya. Ini semua karenanya, yang telalu mudah percaya dengan omongan gadis
delapan tahun yang lalu. “Rhein... kamu jahat. Kenapa kamu lakukan ini kepadaku
Rhein?” tanya Ara meluncurkan air matanya.
“Aku memiliki dua alasan akan hal ini. Yang pertama
karena aku yang ingin mendapatkan kasih sayang dari mamaku tapi dengan syarat
aku harus menghancurkan keluargamu dan merebut ayahmu.” Ucapan Rhein sangat
menusuk ke relung hati Ara.
“Dan... alasan keduanya adalah... kau sendiri yang
berkata, Mulai sekarang Rheina adalah sahabat Ara, apa yang Ara punya itu milik
Rheina juga.”Kata Rheina menirukan nada bicara Ara waktu itu.
Ara sungguh menyesali perkataannya delapan tahun lalu. Ia
terlalu percaya kepada seorang pembohong besar yang membunuh psikolog ibu Ara
dan menghancurkan hidupnya. “Kau pengkhianat, Rheina. Kau pengkhianat.”
“Bukan aku yang berkhianat tapi kau yang bodoh, Hazra.”
Ucapnya sambil menyunggingkan senyum mengejeknya pada Ara. Hingga sebuah motor
berhenti di samping mereka, Ara mendongak dan sangat terkejut melihat Gilang
berada di sampingnya sedang memberikan helm ke arah Rheina.
“Gil...ang...” ucap Ara terpatah-patah. “Hei bodoh...
jangan coba-coba mendekati pacarku atau kau akan merasakan hal yang lebih parah
dari ini.” Ucap Gilang membuat tubuh Ara terpaku. Dengan sekali hentakan,
keduanya telah menghilang di belokan jalan keluar sekolah. Ara menangis, ia tak
tau harus kemana lagi. Semuanya telah hancur dalam sekejap.
“Begitu bodohnya aku sampai aku bisa dibohongi dengan
makhluk sepertimu, Rheina Atmajaya. Aku menyesal telah mengenalmu, aku menyesal
membiarkanmu mendekati ayahku dan membuat ibuku depresi. Kamu pengkhianat,
Rheina. Pengkhianat!!!” Ucap Ara sambil memukuli dirinya sendiri membabi buta.
“Aku benci hidupku.”
Tamat