Cerpen 'Sentimeter Khianat' - Megasus

Thursday, January 31, 2019

Cerpen 'Sentimeter Khianat'



Sentimeter Khianat
Oleh : Indana Nurul Khoiriza
Hiks... Hiks... Hiks...
Di sisi kanan pohon beringin besar, seorang gadis dengan seragam putih abu-abunya tengah menangis dan meringkuk memukul-mukul kakinya sambil terus merancau menyalahkan dirinya sendiri. “Rhein... Kenapa Rhein tega sama Ara? Ara punya salah apa sama Rhein?” Ucapnya berkali-kali.
Ara melampiaskan semua kesedihannya di bawah pohon beringin sore hari di bulan Desember, bulan petaka bagi Ara.
Delapan tahun yang lalu, Ara menyapanya, mengenalnya, dan menganggapnya sebagai sahabat. Tapi semua itu berbanding terbalik dengan keadaannya saat ini, dimana ia telah menghancurkan hidup Ara. Ara menyesal telah mengenalnya.
“Kenapa kamu sedih?” tanya Ara kepada gadis kecil itu. Ara yang masih sepuluh tahun tak mengerti harus melakukan apa. Ara akhirnya memeluk gadis itu erat seakan mengisyaratkan bahwa gadis itu tak sendiri. “Ara akan selalu ada buat kamu, kamu jangan sedih.” Ucap Ara tenang.
Gadis kecil yang kira-kira berumur dua tahun dibawah Ara itu langsung membalas pelukan Ara tak kalah erat. “Aku takut... Aku sendirian... Hiks...Hiks...Hiks...” Ucapnya sambil terus menangis. “Ara kan sudah bilang, jangan sedih. Ara selalu ada buat kamu. Oh ya... Nama kamu siapa?” tanya Ara melepaskan pelukannya. “Rheina... Rheina Atmajaya.” Ujar gadis itu dengan mata yang berkilau. “Mulai sekarang Rheina adalah sahabat Ara, apa yang Ara punya itu milik Rheina juga.” Ujar Ara sambil menyatukan kelingkingnya dengan Rheina.
Rheina Atmajaya, panggil saja Rhein. Ia adalah sahabat Ara. Ara sudah menganggapnya sebagai adiknya sendiri meski mereka berbeda ayah ibu. Ara merasa kasihan kepada kehidupan Rhein. Rhein adalah seorang anak yatim piatu yang ia jumpai saat pulang sekolah. Panti asuhannya mengadakan study tour ke wisata setempat. Tapi kejadian naas tak bisa terelakkan, bus yang mereka tumpangi masuk ke dalam jurang. Sewaktu berada di pengisian bensin sebelum kejadian tersebut, Rhein lupa tak izin ke ibu panti untuk buang air kecil dan teman sebangkunya malah tertidur pulas. Dan Rhein pun selamat dari kecelakaan tersebut. Itulah hal yang disampaikan Rhein ketika bertemu dengan Ara.
Setiap hari mereka selalu bersama. Apabila ada Ara disampingnya selalu ada Rhein dan begitupun sebaliknya. Rhein sudah dianggap anak kandung sendiri oleh kedua orang tua Ara. Hingga, saat Ara memasuki Sekolah Menengah Atas yang berada di kotanya. Ara merasa aneh dengan Rhein. Ia sering melihat Rhein tertawa sendiri di kamarnya. Ara hanya mengira, Rhein sedang bercanda dengan temannya.

Satu tahun setelahnya, Ara semakin sibuk dengan tugasnya sebagai sekertaris Osis di sekolahnya. Tak terlepas dari itu, Ara tengah menyukai Gilang sang ketua jurnalistik yang sering menemuinya karena meminta jadwal acara untuk persiapan liputannya. Ara menyukai Gilang saat masa orientasi siswa, dimana keduanya dihukum bersama karena terlambat di hari pertama. Klise memang, tapi sejak hari itu Ara tak bisa berhenti memikirkannya.
Seketika, lamunan Ara terhanti karena tawa Rhein yang menggema ke seluruh ruangan. Ara mengintip dari pintu kamarnya, terlihat Rhein yang begitu akrab dengan ayahnya. Senyum Ara mengembang dan dengan perlahan Ara menutup pintu kamarnya. Ara pun melanjutkan proposal yang akan diserahkannya kepada kepala sekolah esok hari.
Dari hari ke hari, Ara mulai merasa bingung dengan sikap ibunya yang berbeda. Ibu Ara adalah orang yang ceria, tapi beberapa minggu ini beliau terlihat berbeda. Dengan kantung mata menghitam, mata yang terlihat memerah, dan bibir yang pucat seperti orang yang sedang sakit. Dari lubuk hatinya, Ara ingin bertanya kepada ibunya. Tapi Ara menganggap ibunya capek dalam melaksanakan pekerjaan rumah tangga.
Dalam beberapa bulan ini, sang ayah juga sering keluar bersama Rhein. Ara tersenyum, akhirnya Rhein bisa sedekat ini dengan ayahnya. Hingga sebuah bunyi pecahan kaca terdengar di indra pendengar Ara.
Pyarrr...
Ara pun berlari menuju ke sumber suara. Hingga kakinya mematung tak bisa digerakan sesentipun. Ia melihat ibunya berlumuran darah tak sadarkan diri dengan beberapa sayatan pada urat nadinya. Ara meneteskan air matanya sambil mencoba memegang nadi sang ibu. Hingga ia menyadari tak ada detakan sedikitpun. “Apa yang tengah terjadi? Ibu... Ara takut.” Ucap Ara sambil memeluk jasad ibunya.
Ayahnya dan Rhein selama tiga hari masih belum juga pulang. Ara semakin khawatir. Ia takut terjadi apa-apa dengan ayah dan adiknya itu.
Hari keempat, ketika pulang sekolah ia melihat Rhein berjalan tak jauh darinya. Arapun mengejarnya dan menarik tangan Rhein. “Rhein kemana saja kamu? Ayah mana?”tanya Ara kepada Rhein. Rheina menyunggingkan senyumnya dan berkata, “Maksud kamu papa?”
“Papa? Sejak kapan kamu memanggil ayah dengan sebutan papa?” tanya Ara sambil menautkan alisnya. Jawaban tak terduga keluar dari bibir Rhein, “Semenjak ayah kamu menikah dengan mamaku.”
Mata Ara membulat sontak ia mencengkram tangan Rhein dengan begitu erat. “Mama? Sejak kapan?” tanya Ara. “Iya, Hazra Aizha. Kau mudah sekali dibohongi. Ibumu juga sangat mudah percaya denganku. Mana ada orang yang sangat mudah percaya dengan bocah kecil yang disuruh ibunya untuk menghancurkan kehidupan musuh ibunya? Kau begitu bodoh Ara.” Ujar Rhein dengan nada sombongnya.
Akhirnya Ara mengerti semua hal yang terjadi padanya dan ibunya. Ini semua karenanya, yang telalu mudah percaya dengan omongan gadis delapan tahun yang lalu. “Rhein... kamu jahat. Kenapa kamu lakukan ini kepadaku Rhein?” tanya Ara meluncurkan air matanya.
“Aku memiliki dua alasan akan hal ini. Yang pertama karena aku yang ingin mendapatkan kasih sayang dari mamaku tapi dengan syarat aku harus menghancurkan keluargamu dan merebut ayahmu.” Ucapan Rhein sangat menusuk ke relung hati Ara.
“Dan... alasan keduanya adalah... kau sendiri yang berkata, Mulai sekarang Rheina adalah sahabat Ara, apa yang Ara punya itu milik Rheina juga.”Kata Rheina menirukan nada bicara Ara waktu itu.
Ara sungguh menyesali perkataannya delapan tahun lalu. Ia terlalu percaya kepada seorang pembohong besar yang membunuh psikolog ibu Ara dan menghancurkan hidupnya. “Kau pengkhianat, Rheina. Kau pengkhianat.”
“Bukan aku yang berkhianat tapi kau yang bodoh, Hazra.” Ucapnya sambil menyunggingkan senyum mengejeknya pada Ara. Hingga sebuah motor berhenti di samping mereka, Ara mendongak dan sangat terkejut melihat Gilang berada di sampingnya sedang memberikan helm ke arah Rheina.
“Gil...ang...” ucap Ara terpatah-patah. “Hei bodoh... jangan coba-coba mendekati pacarku atau kau akan merasakan hal yang lebih parah dari ini.” Ucap Gilang membuat tubuh Ara terpaku. Dengan sekali hentakan, keduanya telah menghilang di belokan jalan keluar sekolah. Ara menangis, ia tak tau harus kemana lagi. Semuanya telah hancur dalam sekejap.
“Begitu bodohnya aku sampai aku bisa dibohongi dengan makhluk sepertimu, Rheina Atmajaya. Aku menyesal telah mengenalmu, aku menyesal membiarkanmu mendekati ayahku dan membuat ibuku depresi. Kamu pengkhianat, Rheina. Pengkhianat!!!” Ucap Ara sambil memukuli dirinya sendiri membabi buta.
“Aku benci hidupku.”

Tamat

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda