Tak Lagi Redup
Ragil Wulansari
Jakarta, 8 Februari 2010.
Perhiasan malam bercahaya di gelapnya langit kala itu. Hawa dingin datang seiring berjalannya waktu, sunyi dan sepi kian mendekap tubuh gadis mungil itu dalam-dalam. Berjalan gontai menyusuri tepian jalan dengan segenap luka memar di sekujur tubuh mungilnya, belum lagi luka lebam menganga di relung hati terdalamnya akan semua kenyataan pahit hidup ini. Dia adalah gadis mungil pedagang asongan yang hidup bersama sang adik tanpa ditemani kehadiran sosok kedua orang tua. Selalu tegar menerima takdir yang Tuhan berikan, dia adalah Ardya Kartikasari, seorang gadis SMA yang tak lagi melanjutkan pendidikannya dan hanya bisa belajar melalui lembaran-lembaran usang koran pinggir jalan.
Langkah kakinya telah mengantarnya ke sebuah gubuk rapuh yang sekali hantam akan hancur sudah. Di sanalah tempat gadis itu berteduh dari panasnya terik sang Surya serta dinginnya angin malam.
"Kakak pulang..." Ucapnya dengan seulas senyum yang tulus dari dalam hati.
"Kakak kenapa malam sekali pulangnya?" Tanya Asthika, gadis kecil yang menjadi penyemangat Ardya untuk melanjutkan hidup.
"Hehehe iya, kamu sudah makan?" Pertanyaan yang selalu hadir sepulang Ardya bekerja dan selalu mendapat gelengan kepala oleh adiknya sebagai jawaban.
"Maafin kakak ya...ini kakak bawakan nasi telur kesukaan kamu, dimakan ya, kakak mau bekerja lagi, jangan lupa belajar sayang...." Kata Ardya dengan mengelus lembut puncak kepala adiknya lalu segera berdiri dan berjalan pergi.
Malam itu ada sebuah ruang penuh tanya yang menghantui Asthika tentang seorang kakak yang selalu ceria setiap harinya, namun malam itu seolah ada yang tersembunyi dibalik senyumannya. Asthika tak mau menambah beban kakaknya dengan sebuah pertanyaan 'Bagaimana seluruh luka itu hadir ?', Asthika hanya diam dengan segala pertanyaan.
Di waktu yang sama, Ardya menangis terisak, merangkul lututnya yang penuh darah dan membenamkan wajahnya di antara luka-luka, seolah malam ini ia tak mau menampakkan kelemahannya pada dunia. Rasa perih kembali hadir menghiasi sekujur tubuh mungilnya. Bekas sayatan pisau tajam di perut, luka lebam di lutut, serta goresan-goresan penuh darah pada kaki jenjangnya akibat ulah kejam preman ibu kota membuat Ardya ingin sekali mengakhiri hidupnya malam ini. Di sudut makam tua, dimana kedua orangtuanya beristirahat untuk selamanya.
Tangisnya masih deras mengalir dari pelupuk matanya namun ia teringat akan mimpinya. Mimpi yang selalu ia tanamkan dalam benaknya, mimpi yang harus ia wujudkan dalam hidupnya. Detik itu juga Ardya bangkit dari duduknya dan perlahan menapakkan kaki keluar dari makam. Namun belum jauh dari pemakaman, segerombolan preman tengah berjalan lunglai dengan sebotol minuman keras ditangan mereka menuju ke arah Ardya.
"Hai gadis cantik", Ucap salah seorang preman tersebut yang membuat Ardya takut dibuatnya. Ia ingin berlari namun kakinya tak kuasa untuk melakukannya. Sembari mencoba menguasai diri dari rasa takut yang kian menjalar ke seluruh tubuh ia melangkah lebih lebar, berusaha berjalan secepat mungkin. Namun naas, gerombolan preman itu lebih cepat menghampiri Ardya dan menarik paksa lengan Ardya. Sentuhan-sentuhan kasar membuat Ardya dengan spontan memberontak. Semakin Ardya berteriak, makin kasar pula preman-preman itu menyiksanya. Ardya terus berusaha agar bisa melarikan diri namun semua itu gagal. Saat ini ia hanya bisa menangis dan berdoa dalam hati agar ada yang menolongnya, siapapun dan apapun itu. Gadis itu terus berteriak membuat para preman tersebut mendorongnya hingga jatuh tersungkur. Ardya terus meneteskan air mata namun dengan perlahan ia mundur. Malam kian larut, kegelapan semakin merajai waktu, tak ada cahaya yang membantu. Ardya makin takut namun terus mundur lalu berdiri dari tempatnya ia tersungkur. Saat preman-preman itu sibuk dengan minumannya, Ardya berlari sekuat tenaga dengan menahan perih luka dan air mata yang sedari tadi mengalir deras.
。。。
Jakarta, 19 Oktober 2019.
Ardya tersenyum getir mengingat kisah masa lampau. Dimana dirinya berjuang keras menggapai setiap mimpi yang ia gantungkan di atas bintang-bintang. Hinaan, cemoohan, ejekan tak menyurutkan semangat Ardya untuk menggapai mimpinya, kini ia mampu membuktikan kepada dunia bahwa mimpi itu milik semua manusia yang mau berusaha dan bekerja keras.
"Kak, apa kakak sudah baikan ?" Tanya seorang wanita berpakaian dokter menghampiri Ardya yang sedang tersenyum menatap jendela di depannya.
"Kakak sudah baik-baik saja dik." Jawab Ardya pada wanita itu dengan sebutan "Dik". Wanita itulah Asthika, adik Ardya yang kini menjadi seorang dokter.
"Kak, terimakasih atas semua kerja keras kakak selama ini, maafkan aku yang belum bisa mewujudkan semua mimpi kakak." Air mata Asthika tak tertahan lagi saat ia memegang tangan Ardya dan menatap paras cantik kakaknya itu.
"Mimpi kakak hanya satu selama ini, dik. Kakak hanya ingin kamu menjadi wanita sukses dan berpendidikan, tidak seperti kakakmu ini." Balas Ardya sambil menatap adiknya dengan seulas senyum dan air mata yang perlahan muncul di sudut matanya.
Waktu terus berlalu, roda kehidupan terus berputar dan mimpi telah tergapai. Ardya mampu mewujudkan mimpinya selama ini dengan keringatnya, ia berhasil menjadikan adiknya wanita yang sukses. Banyak sekali duri-duri tajam di sepanjang perjalanan namun banyak sekali cahaya-cahaya yang menuntunnya, semua itu tergantung pada niat dalam hati. Ardya Kartikasari seorang pedagang asongan yang mampu mewujudkan mimpinya dan mampu melewati segala penderitaan.