Bagaimana jika aku mati?
Pertanyaan itu muncul
di kepalaku sepuluh tahun lalu di tengah bising yang tak
kunjung usai ditelan malam dari atas jembatan
penyeberangan.
“Peraih nilai tertinggi semester ini, Sapta Rastafara!”
Buruk. Benar-benar buruk. Kala itu aku
hanya terduduk di bangkuku seolah tak berniat untuk mengambil rapor milikku di
tangan Bu Vivi. Bukannya tak senang aku menjadi juara umum lagi semester ini,
tapi hal buruk akan benar-benar terjadi setelah ini.
“Sini lo!” Seorang
gadis menyeretku keluar tepat ketika bel pulang meraung kencang.
“Berani-beraninya lo ngelawan gue! Bukannya gue udah bilang kalau semester ini
gue yang harus jadi juara umumnya?!”
BYUR!
Dan begitulah gadis itu menyiramku dengan
air dingin dan kotor dari kamar mandi sekolah sebelum menutup pintu kayu di
depanku dan mengunciku di sana seperti biasa. Bukan sekali-dua kali hal ini
terjadi, tapi hampir setiap semester ia memperlakukanku seperti itu. Seolah
seluruh dunia harus mematuhinya hanya karena ia kaya. Bukan bermaksud iri, aku
hanya kesal melihatnya menggangguku setiap kali. Tanpa sadar, air mata mengaliri wajahku begitu saja. Apa
gunanya nilai bagus jika akhirnya
selalu sama?
“Anak yang merepotkan,” ujar satpam yang
membukakanku pintu kamar mandi satu setengah jam kemudian.
“Gurumu bilang, nilai ulanganmu
paling tinggi lagi semester ini?” Seorang wanita bertanya padaku
ketika aku baru membuka pintu
rumah. Dengan agak gugup, aku
mengangguk.
“Apa gunanya nilai tinggi? Pembunuh
akan tetap menjadi
pembunuh sampai dia
mati!” Celetukan
yang datang
dari
ruang
tengah
itu
menyayat hatiku. Kata-kata kasar
lainnya kembali keluar dari mulut ayah yang tengah mengisap sebatang rokok di tangan
kirinya, menyemburkan asap yang kian menyesakkan dada.
“Oh, jadi
kamu masih saja ingat dengan perempuan itu?”
Kali ini suara bernada tinggi
dari wanita di depanku mendominasi. Ia melangkah menghampiri ayah yang juga mulai marah.
“Jelas
saja
aku
ingat
dengannya! Dia bukan
perempuan culas
sepertimu! Menikahimu adalah penyesalan terbesar dalam hidupku!” balas ayah tak mau kalah.
“Jika kamu begitu mencintainya, mengapa kamu menikahiku dan menghancurkan
hidupku yang begitu berharga?!”
“Apalagi kalau bukan
karena
hartamu?
Siapa
sangka
sekarang
aku
harus
hidup
melarat begini karena kamu tak
berguna lagi!”
“Tutup mulutmu,
Mas! Kamu yang gila berjudi dan menghabiskan setiap rupiah yang aku punya! Bisa-bisanya sekarang kamu menyalahkanku atas
kebodohanmu sendiri!”
“Jaga bicaramu!”
“Aku minta cerai!”
Dengan
air mata yang perlahan menderas,
aku memilih pergi ke kamarku
di belakang teras. Pertengkaran seperti ini telah terjadi setiap hari
sejak
usaha
Tante
Sinta
bangkrut
dan memaksa kami
semua tinggal di perkampungan kumuh, dengan
rumah sederhana, dan hidup seadanya. Mengais rupiah yang rupanya semakin
langka.
Bahkan ayah masih menyalahkanku atas kematian
ibu hingga
saat ini. Memandangku bagai pembunuh keji yang merenggut
nyawa ibuku sendiri. Yang nyatanya
memang benar. Ibuku menyerahkan
nyawanya demi kelahiranku ke dunia.
“Eh, lo tahu, enggak
sepatu gue di
mana?” Pertanyaan
itu terdengar ketika aku
hendak memasuki kamar. Kakak tiriku
celingukan mencari sepatunya di sekeliling rumah.
Masalah baru datang karena sepatu itu baru kupinjam dan sialnya masih berada di
sekolah.
“Apa?”
Pemuda itu melotot ke arahku ketika mendengar tentang nasib
sepatunya. Ia segera mendekat kemudian menjambak rambutku kuat-kuat. “Ambil sekarang!” bentaknya.
“T-tapi
Kak, sekarang
sudah malam.” jawabku sambil meringis
menahan sakit.
“Gue nggak
peduli! Gue mau jalan sama pacar gue pakai sepatu itu! Lo ambil sekarang, atau gue
botakin rambut lo!”
Dan malam itu, aku yang bahkan
belum
mengganti
seragam
berlari
sembari menahan tangis
menuju sekolah hanya untuk mendapati pagar tinggi yang telah tertutup rapat. Tak ada celah, bahkan seisi sekolah pun telah gelap.
Aku yang tak berani
pulang berjalan tanpa tujuan,
berhenti di atas jembatan penyeberangan
dengan pikiran tak karuan dan air mata
yang
mendesak
keluar.
Untuk ukuran
gadis lima belas tahun, dunia menamparku terlalu keras untuk bisa
tumbuh seperti anak- anak
pada umumnya. Rumah yang tak lagi terasa seperti tempat pulang,
teman-teman yang kejam, serta orang-orang tanpa perasaan membuat pikiran
akan kematian kerap datang.
Bagaimana jika sejak awal aku tak pernah dilahirkan?
Tanpa sadar, aku telah memanjat pagar pembatas
jembatan. Menatap lalu-lalang
kendaraan sambil membayangkan tubuhku terjun bebas ke arah sana, diterjang ratusan kendaraan yang
tengah saling berlomba menambah kecepatan. Dengan mata yang
masih sembap, aku bersiap melompat
ketika sebuah tangan menarikku ke belakang.
“Sedang
apa
kamu?! Mau bunuh diri di sini?!”
Anak
yang
tampak seumuran
denganku itu bertanya dengan napas terengah-engah, menatapku ngeri. Merasa terabaikan, ia menghela napas lalu mengulurkan tangannya
padaku. “Namaku Rifky. Kalau kamu ada
masalah, cerita saja padaku. Jangan melakukan hal bodoh lagi seperti tadi.”
Siapa sangka
pertemuan singkat itu menjadi titik
balik
terbesar
dalam
hidupku. Setelah
susah payah menyelesaikan sekolahku, Rifky membantuku keluar
dari rumah dan mencarikanku kontrakan dengan harga murah. Aku yang sudah lulus SMA mulai
bekerja seadanya untuk
kehidupan sehari-hari. Namun
suatu ketika, Rifky menyuruhku mendaftar program beasiswa di salah satu
universitas ternama. Ia terus memaksaku hingga akhirnya terpaksa kuturuti
kemauannya.
Singkat
cerita, aku diterima. Hal yang sampai saat ini masih membuatku
tak percaya. Berkuliah di salah satu
kampus ternama dengan biaya yang mencapai puluhan juta tiap
semesternya, memimpikannya saja aku tak kuasa. Namun tidak dengan Rifky.
Ia percaya bahwa seperti orang-orang lain
di luar sana, aku juga berhak memilih jalan hidupku sendiri. Ia adalah
anugerah terbesar yang Tuhan berikan dalam hidupku. Ia membantuku
meraih hal-hal yang
sebelumnya tak pernah kuimpikan. Ia mendukungku dengan penuh kepercayaan dan menghadirkan
bahagia yang entah sejak kapan kembali kurasakan.
Pernah suatu kali aku bertanya mengapa ia menyelamatkanku dari jembatan malam
itu. “Karena kamu mengingatkanku pada ibu.” jawabnya dengan nada sendu. “Ibuku bunuh
diri tujuh belas tahun lalu di sana. Meninggalkan
luka yang sampai
kapan pun tak akan pernah mereda.” Aku menatapnya iba.
Setelahnya kami berpisah. Rifky mendapat beasiswa dari salah
satu universitas di Negeri Sakura. Meninggalkanku
yang diam-diam menyimpan rasa padanya.
Perasaan yang hingga kini masih kusimpan rapi dalam sebuah ruang
khusus
di hati.
Kabar baiknya, setelah hampir tiga tahun
berpisah, kami akan bertemu lagi hari ini. Rifky berjanji akan pulang untuk
menemuiku di sini, menyebakan gejolak rindu yang tak tertahankan lagi.
Bagaimana jika aku mati?
Pertanyaan itu terlintas
lagi kini setelah aku menerima telepon
dari polisi. Mengabarkan bahwa
Rifky menjadi korban tabrak lari dalam perjalanan menuju ke sini.
Dan malam ini, aku berdiri di tempat yang sama sepuluh tahun
lalu ketika kami
berdua pertama kali bertemu. Diam menatap lalu lintas
yang semakin meluas dengan lemas. Jika aku melompat lagi,
akankah Rifky
kembali datang dan menyelamatkanku
seperti
sepuluh tahun lalu?
BRUK!
Ternyata tidak.
(By : Qonita Rahmania)